Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs Umar Bin Khatab ra, dia berkata : “Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan bergantung
pada niatnya dan setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang diniatkan.
Barang siapa hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang
siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syarah
Hadits ini muncul karena suatu
sebab. Waktu itu para sahabat melaporkan adanya seseorang yang berhijrah dari
Mekah ke Madinah untuk menikahi seorang wanita bernama Ummu Qais. Secara zahir
apa yang ia lakukan sama dengan apa yang dikerjakan oleh para sahabat. Akan
tetapi, niat dan tujuannya ternyata
berbeda, yaitu untuk menikahi Ummu Qais. Oleh karena, itu ia dijuluki “Muhajir
Ummu Qais” (orang yang berhijrah demi Ummu Qais).
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka
beribadah kepada-ku,” demikian terjemahan surah Adz-Dzariyat [51] : 56.
Allah menegaskan bahwa tujuan hidup kita di dunia ialaah beribadah atau
mengabdi kepada-Nya. Benar, itu saja tugas kita. Lalu, tahukah Anda apa separuh
ibadah itu? Ya, separuh dari ibadah adalah apa yang diterangkan dalam hadits
tersebut karena ia menjadi timbangan
amalan batin. Sementara yang separuhnya lagi, yag menjadi timbangan amalan
lahir adalah hal berikut ini, “Barang
siapa mengada-ada suatu perkara dalam urusan agama kami, yang bukan merupakan
bagian darinya,, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua hal tersebut, yaitu niat
yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah merupakan kunci diterimanya
ibadah seseorang. Bertolak dari sini, meluruskan niat adalah sebuah keniscayaan
bagi kita. Ada baiknya, sebelum beramal kita selalu bertanya pada hati kecil
kita, “Apa niat saya melakukan ini dan untuk siapa perbuatan ini saya lakukan
dan mengapa?” Sesungguhnya, mengetahui cacatnya
niat sejak awal itu lebih baik daripada mengetahuinya belakangan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan
niat di sini? Menurut Syekh As-Sa’di, niat adalah menyengaja untuk melakukan
suatu amalan dalam rangka mndekatkan diri kepada Allah serta mencari ridha dan
pahala dari-Nya. Jadi, sabda Nabi saw, “Sesungguhnya setiap perbuatan
bergantung pada niatnya...,” maksudnya ialah amalan-amalan yang berkenaan
dengan ketaatan, bukannya amalan-amalan yang bersifat mubah, apalagi makruh dan
haram.
Fungsi niat ialah untuk
membedakan antara kebiasaan dan ibadah. Misalnya, Anda duduk di dalam masjid.
Ini bisa diniatkan untuk sekadar beristirahat, sebagai bentuk kebiasaan, namun
bisa juga untuk beribadah, yaitu dengan niat beriktikaf. Jadi, yang membedakan
antara ibadah dan kebiasaan serta mendapat pahala atau tidak adalah niat.
Selain itu, niat juga berfungsi untuk membedakan antara satu bentuk ibadah
dengan ibadah yang lain. Contohnya ialah orang yang mengerjakan shalat empat
rakaat. Shalat empat rakaat ini bisa merupakan shalat zuhur ataupun shalat
sunnah rawatib. Maka, yang membedakan antara keduanya ialah niat.
Adapun makna sabda Nabi saw,
“...dan setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan...,”
maksudnya ialah setiap perbuatan disesuaikan dengan niat pelakunya, baik
mengenai sah atau rusaknya maupun kesempurnaan atau kekurangannya. Orang yang
melakukan suatu ketaatan dengan setengah hati, maka pahala yang didapatkannya pun
akan berkurang. Sebaliknya, orang yang beribadah dengan sepenuh hati, maka ia
pun akan memperoleh pahala yang sempurna.
Maksud “Barang siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya...,” ialah seseorang akan
mendapatkan balasan berdasarkan apa yang ia niatkan, sementara pahalanya
menjadi tanggungan Allah. Contoh yang konkret pada saat ini banyak sekali.
Ambil saja contoh pelajar yang mencari ilmu. Jika niatnya belajar ialah mencari
keridhaan Allah, selain akan mendapatkan ilmu dan ijazah, ia juga akan mendapatkan
pahala. Demikian pula orang yang bekerja. Jika ia niatkan untuk mencari ridha
Allah dan menafkahi keluarga, setiap tetesan keringatnya akan dinilai sebagai
ibadah kepada Allah yang berpahala. Akan tetapi, jika niatnya hanya untuk
menumpuk harta, ia takkan mendapatkan pahala. Harta yang dikumpulkan akan
ditinggalkan, apa yang dimakan akan menjadi kotoran, dan apa yang dipakai akan
usang. Maka, solusinya ialah kita harus selalu menghadirkan niat yang ikhlas dalam
setiap aktivitas kita. Pun menjauhi hal-hal yang dapat merusak keikhlasan kita,
seperti pamer, menginginkan pujian dari orang lain, dan mengharapkan sanjungan
darinya.
Niat yang baik akan membuahkan
hasil yang baik. Dalam kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan “Barang siapa meminjam harta orang lain dengan niat akan melunasinya,
maka Allah akan membantu melunaskannya. Sebaliknya, barang siapa meminjam harta
orang lain dengan niat ingin menghanguskannya, maka Allah akan mengazabnya di
akhirat.”
Perhatikanlah keajaiban niat
dalam hadits tersebut. Niat yang baik menjadi penyebab kuat didapatkannya
rezeki dan bantuan pembayaran utang yang diberikan Allah. Sebaliknya, niat yang
jelek menjadi penyebab kehancuran dan kebinasaan. Kurang lebih, ini seperti law
of attraction, hukum tarik menarik. Niat yaang baik akan berbalas kebaikan dan
niat yang buruk akan berbalas keburukan.
Pelajaran Penting
1. Niat
ikhlas merupakan syarat diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan.
2. Manusia
akan diberi pahala atau terhalang dari mendapat pahala atau bahkan mendapatkan
dosa sangat berkorelasi dengan niat yaang dimilikinya.
3. Sesuatu
yang mubah bisa menjadi bagian dari ketaatan jika diniatkan sebagai bentuk
kebaikan.
Sumber : sebuah buku karya penulis Fahrur Mu’is, S.Pd.I dan
Muhammad Suhadi, Lc yang berjudul “Syarah Hadits Arbain An-Nawawi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar