Minggu, 09 Oktober 2016

NIAT KUNCI AMAL



Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs Umar Bin Khatab ra, dia berkata : “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan bergantung pada niatnya dan setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang diniatkan. Barang siapa hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syarah
Hadits ini muncul karena suatu sebab. Waktu itu para sahabat melaporkan adanya seseorang yang berhijrah dari Mekah ke Madinah untuk menikahi seorang wanita bernama Ummu Qais. Secara zahir apa yang ia lakukan sama dengan apa yang dikerjakan oleh para sahabat. Akan tetapi,  niat dan tujuannya ternyata berbeda, yaitu untuk menikahi Ummu Qais. Oleh karena, itu ia dijuluki “Muhajir Ummu Qais” (orang yang berhijrah demi Ummu Qais).

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-ku,” demikian terjemahan surah Adz-Dzariyat [51] : 56. Allah menegaskan bahwa tujuan hidup kita di dunia ialaah beribadah atau mengabdi kepada-Nya. Benar, itu saja tugas kita. Lalu, tahukah Anda apa separuh ibadah itu? Ya, separuh dari ibadah adalah apa yang diterangkan dalam hadits tersebut  karena ia menjadi timbangan amalan batin. Sementara yang separuhnya lagi, yag menjadi timbangan amalan lahir adalah hal berikut ini, “Barang siapa mengada-ada suatu perkara dalam urusan agama kami, yang bukan merupakan bagian darinya,, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua hal tersebut, yaitu niat yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah merupakan kunci diterimanya ibadah seseorang. Bertolak dari sini, meluruskan niat adalah sebuah keniscayaan bagi kita. Ada baiknya, sebelum beramal kita selalu bertanya pada hati kecil kita, “Apa niat saya melakukan ini dan untuk siapa perbuatan ini saya lakukan dan mengapa?” Sesungguhnya, mengetahui cacatnya niat sejak awal itu lebih baik daripada mengetahuinya belakangan.

Lalu, apa yang dimaksud dengan niat di sini? Menurut Syekh As-Sa’di, niat adalah menyengaja untuk melakukan suatu amalan dalam rangka mndekatkan diri kepada Allah serta mencari ridha dan pahala dari-Nya. Jadi, sabda Nabi saw, “Sesungguhnya setiap perbuatan bergantung pada niatnya...,” maksudnya ialah amalan-amalan yang berkenaan dengan ketaatan, bukannya amalan-amalan yang bersifat mubah, apalagi makruh dan haram.

Fungsi niat ialah untuk membedakan antara kebiasaan dan ibadah. Misalnya, Anda duduk di dalam masjid. Ini bisa diniatkan untuk sekadar beristirahat, sebagai bentuk kebiasaan, namun bisa juga untuk beribadah, yaitu dengan niat beriktikaf. Jadi, yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan serta mendapat pahala atau tidak adalah niat. Selain itu, niat juga berfungsi untuk membedakan antara satu bentuk ibadah dengan ibadah yang lain. Contohnya ialah orang yang mengerjakan shalat empat rakaat. Shalat empat rakaat ini bisa merupakan shalat zuhur ataupun shalat sunnah rawatib. Maka, yang membedakan antara keduanya ialah niat.
Adapun makna sabda Nabi saw, “...dan setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan...,” maksudnya ialah setiap perbuatan disesuaikan dengan niat pelakunya, baik mengenai sah atau rusaknya maupun kesempurnaan atau kekurangannya. Orang yang melakukan suatu ketaatan dengan setengah hati, maka pahala yang didapatkannya pun akan berkurang. Sebaliknya, orang yang beribadah dengan sepenuh hati, maka ia pun akan memperoleh pahala yang sempurna.

Maksud “Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya...,” ialah seseorang akan mendapatkan balasan berdasarkan apa yang ia niatkan, sementara pahalanya menjadi tanggungan Allah. Contoh yang konkret pada saat ini banyak sekali. Ambil saja contoh pelajar yang mencari ilmu. Jika niatnya belajar ialah mencari keridhaan Allah, selain akan mendapatkan ilmu dan ijazah, ia juga akan mendapatkan pahala. Demikian pula orang yang bekerja. Jika ia niatkan untuk mencari ridha Allah dan menafkahi keluarga, setiap tetesan keringatnya akan dinilai sebagai ibadah kepada Allah yang berpahala. Akan tetapi, jika niatnya hanya untuk menumpuk harta, ia takkan mendapatkan pahala. Harta yang dikumpulkan akan ditinggalkan, apa yang dimakan akan menjadi kotoran, dan apa yang dipakai akan usang. Maka, solusinya ialah kita harus selalu menghadirkan niat yang ikhlas dalam setiap aktivitas kita. Pun menjauhi hal-hal yang dapat merusak keikhlasan kita, seperti pamer, menginginkan pujian dari orang lain, dan mengharapkan sanjungan darinya.

Niat yang baik akan membuahkan hasil yang baik. Dalam kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan “Barang siapa meminjam harta orang lain dengan niat akan melunasinya, maka Allah akan membantu melunaskannya. Sebaliknya, barang siapa meminjam harta orang lain dengan niat ingin menghanguskannya, maka Allah akan mengazabnya di akhirat.”

Perhatikanlah keajaiban niat dalam hadits tersebut. Niat yang baik menjadi penyebab kuat didapatkannya rezeki dan bantuan pembayaran utang yang diberikan Allah. Sebaliknya, niat yang jelek menjadi penyebab kehancuran dan kebinasaan. Kurang lebih, ini seperti law of attraction, hukum tarik menarik. Niat yaang baik akan berbalas kebaikan dan niat yang buruk akan berbalas keburukan.


Pelajaran Penting
      1.  Niat ikhlas merupakan syarat diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan.
     2. Manusia akan diberi pahala atau terhalang dari mendapat pahala atau bahkan mendapatkan dosa sangat berkorelasi dengan niat yaang dimilikinya.
      3. Sesuatu yang mubah bisa menjadi bagian dari ketaatan jika diniatkan sebagai bentuk kebaikan.

Sumber : sebuah buku karya penulis Fahrur Mu’is, S.Pd.I dan Muhammad Suhadi, Lc yang berjudul “Syarah Hadits Arbain An-Nawawi”.

Tidak ada komentar: